Kita
berada dalam suasana yang memerlukan keseriusan dalam bersikap. Keteladanan
dalam bertindak. Ketaatan dalam menjalankan nilai-nilai kebaikan. Jika kita
hanya bercermin pada kepentingan individu, maka mungkin kita sudah “lulus”
dalam semua masa itu. Tidak perlu lagi penanaman integritas dalam diri. Tidak
perlu lagi, pembelajaran untuk meningkatkan karakter pribadi.
Suasana
kadang memaksa kita untuk melakukan hal-hal yang sesungguhnya tidak perlu dan
mungkin tidak kita sukai. Akhirnya, kita terbiasa dan merasa tidak ada yang
salah dalam suasana itu. Kita terjebak dalam rutinitas pribadi yang membutuhkan
pembenaran diri. Merasa telah melewati rasa “integritas” hanya karena kita
telah mengikuti program-program internalisasi.
Kita
khawatir terjebak atas semua kebaikan itu. Hanya karena semata-mata kita sudah
“sukses” melaksanakannya. Padahal, salah satu indikator kesuksesan sebuah “amal
baik” adalah ketika kebaikan itu bisa berlangsung lama (istiqomah) dan dapat
mencegah kita melakukan amal buruk.
Masalah
ini sebenarnya sudah Allah Swt sampaikan dalam Al Qur’an, bahwa salah satu
tanda diterimanya sholat seorang manusia adalah ketika ibadah shalatnya
tersebut dapat mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar. Tidak hanya sekedar
menyelesaikan masalah integritas, tapi seluruh nilai-nilai kementerian keuangan
sesungguhnya dapat kita selesaikan ketika kita totalitas menjalankan perintah
agama masing-masing.
Maka,
ketika masih ada orang-orang yang tidak memiliki integritas terhadap instansi
Direktorat Jenderal Pajak, yang perlu dipertanyakan adalah apakah
program-program internalisasi yang kita laksanakan benar-benar memiliki dampak
atau hanya sekedar memenuhi nilai indikator kinerja dan melaksanakan penyerapan
anggaran?
Kita
boleh menjawabnya, pun kita boleh mengabaikannya. Karena sesungguhnya
integritas itu harus kita bangun sendiri sebagai salah satu karakter kebaikan
yang kita miliki. Dengan atau tanpa program.
Allah
Swt tidak menilai sesuatu dari hasilnya, tetapi dari prosesnya. Maka kita pun seharusnya
melihat, bahwa keberhasilan peningkatan integritas dalam suatu organisasi,
tidak bisa hanya disandarkan dari seberapa besar peningkatan profit suatu
organisasi tersebut. Jika kita melihat dari kacamata instansi Direktorat Jenderal
Pajak, maka untuk menilai seorang pegawai yang berintegritas tidak harus
dilihat dari sisi tercapai atau tidaknya target penerimaannya.
Sekarang,
kita perlu belajar menjadi seseorang yang memiliki integritas. Jika integritas
kita artikan sebagai kesatuan antara ucapan dan perbuatan, maka kita perlu
memaksa diri untuk membiasakan hal-hal yang sesungguhnya diinginkan oleh hati
kita, bukan nafsu kita. Kita bergerak karena memang seharusnya dan sebenarnya
gerakan itu kita lakukan. Dilihat atau tanpa dilihat oleh orang lain. Maka,
integritas adalah proses mendisiplinkan kebaikan dengan penuh keikhlasan.
Belajar
dari kesalahan terdahulu, menyesali dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi
adalah prinsip yang baik. Kerusakan integritas pribadi, tidak hanya menimbulkan
masalah bagi pelaku dan keluarganya, tetapi juga merusak struktur integritas
organisasi.
Membentuk karakter
integritas dalam diri seseorang memerlukan proses. Lintasan pikiran, menurut
Ibnul Qoyyim Al jauziyah, adalah awal dari proses pembentukan karakter
seseorang. Setiap harinya berbagai macam lintasan pikiran menyerbu kita.
Bilamana lintasan pikiran itu diolah dan menguat dalam diri kita, mungkin
karena sering dilihat atau dibayangkan, maka pikiran itu akan menjadi memori.
Semakin menguat memori, maka bisa menjadi gagasan. Jika gagasan itu menguat,
maka gagasan itu akan menjadi keyakinan. Jika keyakinan itu menguat dalam diri
kita, maka akan berbuah menjadi sebuah tindakan. Tindakan yang dilakukan secara
terus menerus kemudian menjadi sebuah kebiasaan. Dan dari kebiasaan itulah
kemudian membentuk karakter kita, akhlak kita.
Maka, Jika disiplin sudah jadi bagian keseharian, semangat sudah tidak
dibutuhkan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar