Rabu, 25 September 2013

Membangun Karakter Integritas


Kita berada dalam suasana yang memerlukan keseriusan dalam bersikap. Keteladanan dalam bertindak. Ketaatan dalam menjalankan nilai-nilai kebaikan. Jika kita hanya bercermin pada kepentingan individu, maka mungkin kita sudah “lulus” dalam semua masa itu. Tidak perlu lagi penanaman integritas dalam diri. Tidak perlu lagi, pembelajaran untuk meningkatkan karakter pribadi.  
Suasana kadang memaksa kita untuk melakukan hal-hal yang sesungguhnya tidak perlu dan mungkin tidak kita sukai. Akhirnya, kita terbiasa dan merasa tidak ada yang salah dalam suasana itu. Kita terjebak dalam rutinitas pribadi yang membutuhkan pembenaran diri. Merasa telah melewati rasa “integritas” hanya karena kita telah mengikuti program-program internalisasi.
Kita khawatir terjebak atas semua kebaikan itu. Hanya karena semata-mata kita sudah “sukses” melaksanakannya. Padahal, salah satu indikator kesuksesan sebuah “amal baik” adalah ketika kebaikan itu bisa berlangsung lama (istiqomah) dan dapat mencegah kita melakukan amal buruk.
Masalah ini sebenarnya sudah Allah Swt sampaikan dalam Al Qur’an, bahwa salah satu tanda diterimanya sholat seorang manusia adalah ketika ibadah shalatnya tersebut dapat mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar. Tidak hanya sekedar menyelesaikan masalah integritas, tapi seluruh nilai-nilai kementerian keuangan sesungguhnya dapat kita selesaikan ketika kita totalitas menjalankan perintah agama masing-masing.
Maka, ketika masih ada orang-orang yang tidak memiliki integritas terhadap instansi Direktorat Jenderal Pajak, yang perlu dipertanyakan adalah apakah program-program internalisasi yang kita laksanakan benar-benar memiliki dampak atau hanya sekedar memenuhi nilai indikator kinerja dan melaksanakan penyerapan anggaran?
Kita boleh menjawabnya, pun kita boleh mengabaikannya. Karena sesungguhnya integritas itu harus kita bangun sendiri sebagai salah satu karakter kebaikan yang kita miliki. Dengan atau tanpa program.
Allah Swt tidak menilai sesuatu dari hasilnya, tetapi dari prosesnya. Maka kita pun seharusnya melihat, bahwa keberhasilan peningkatan integritas dalam suatu organisasi, tidak bisa hanya disandarkan dari seberapa besar peningkatan profit suatu organisasi tersebut. Jika kita melihat dari kacamata instansi Direktorat Jenderal Pajak, maka untuk menilai seorang pegawai yang berintegritas tidak harus dilihat dari sisi tercapai atau tidaknya target penerimaannya.
Sekarang, kita perlu belajar menjadi seseorang yang memiliki integritas. Jika integritas kita artikan sebagai kesatuan antara ucapan dan perbuatan, maka kita perlu memaksa diri untuk membiasakan hal-hal yang sesungguhnya diinginkan oleh hati kita, bukan nafsu kita. Kita bergerak karena memang seharusnya dan sebenarnya gerakan itu kita lakukan. Dilihat atau tanpa dilihat oleh orang lain. Maka, integritas adalah proses mendisiplinkan kebaikan dengan penuh keikhlasan.
Belajar dari kesalahan terdahulu, menyesali dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi adalah prinsip yang baik. Kerusakan integritas pribadi, tidak hanya menimbulkan masalah bagi pelaku dan keluarganya, tetapi juga merusak struktur integritas organisasi.
Membentuk karakter integritas dalam diri seseorang memerlukan proses. Lintasan pikiran, menurut Ibnul Qoyyim Al jauziyah, adalah awal dari proses pembentukan karakter seseorang. Setiap harinya berbagai macam lintasan pikiran menyerbu kita. Bilamana lintasan pikiran itu diolah dan menguat dalam diri kita, mungkin karena sering dilihat atau dibayangkan, maka pikiran itu akan menjadi memori. Semakin menguat memori, maka bisa menjadi gagasan. Jika gagasan itu menguat, maka gagasan itu akan menjadi keyakinan. Jika keyakinan itu menguat dalam diri kita, maka akan berbuah menjadi sebuah tindakan. Tindakan yang dilakukan secara terus menerus kemudian menjadi sebuah kebiasaan. Dan dari kebiasaan itulah kemudian membentuk karakter kita, akhlak kita.
Maka, Jika disiplin sudah jadi bagian keseharian, semangat sudah tidak dibutuhkan lagi.

Senin, 23 September 2013

Mungkin Karena Dosa-Dosa Kita


Seorang bapak yang sedang belajar tahsin mengeluh soal pekerjaannya yang menyita sebagian fisiknya. Pekerjaannya membuatnya lelah payah. Menghabiskan sebagian energinya utk beribadah. Rutinitasnya di hotel. Praktis, kerja sebagian waktu, istirahat dan masuk kembali di waktu yang berbeda, tentu membuat jadwal istirahat tak menentu. Kadang, jika masuk pagi, malamnya bisa istirahat di rumah, dan esoknya bisa merasakan mentari pagi di halaman komplek Bumi Sawangan Indah. Ada ruh ibadah yang berbeda ketika dia mendapatkan shift malam, pagi di hotel dan siang yang masih terkantuk di rumah. Dia mengeluh. Mengeluh soal aktifitas ibadahnya yang tidak bisa maksimal karena lingkungan kerjanya. Dan kadang, selain lingkungan kerjanya –yang menurutnya kurang cocok-, godaan syaithan untuk membuat malas beribadah sering muncul. Membaca Al Qur’an misalnya, dia menuturkan lebih cepat membuat mata tertutup dan mulut menguap daripada duduk santai menonton pertandingan sepakbola.

“manusia sering mengeluh, mengeluh soal keadaan sekitarnya. Mengeluh soal keluarganya, mengeluh soal pekerjaannya, mengeluh soal masalah-masalah hidupnya. Hingga dia berfikir, bahwa penyebab semua masalah yang ada pada dirinya disebabkan oleh orang-orang disekitarnya yang tak bisa diajak kompromi, oleh pekerjaannya yang terlalu padat, oleh syaithan yang banyak menggoda imannya, oleh acara Televisi, dan oleh lainnya. Manusia sering menyalahkan orang lain, lingkungan dan makhluk lain.  Seakan, mereka penyebab semua itu”, jelasku

“iya sih pak”, sanggahnya.

“jangan salahkan syaithan. Mereka memang tugas dan kewajibannya menggoda iman manusia agar semakin turun imannya. Agar semakin terbiasa melakukan maksiat. Agar semakin lalai dengan perintah Allah. Sejak dulu, syaithan memang berjanji untuk itu. Sudah seharusnyalah, kita introspeksi diri, bahwa masalah itu sebenarnya datang dari diri kita sendiri”, tegasku

“kadang, sulitnya kita melakukan amal sholih, bisa jadi bukan karena waktu kita terlalu sempit, bukan karena kita terlalu sibuk dan bukan karena apapun, tapi bisa jadi karena dosa-dosa, maksiat-maksiat yang terus dan sering kita lakukan. Dosa-dosa itu membuat kita semakin nyaman meninggalkan amal sholih, dosa-dosa itu mengajak kita untuk bermain banyak alasan, membuat banyak pembenaran dan akhirnya cenderung menyalahkan orang lain. Karena dosa-dosa itu pulalah, mungkin Allah membuat kita terasa berat ketika kita hendak membaca Al Qur’an, ketika kita hendak bangun malam untuk tahajjud, ketika kita hendak berjalan di kegelapan pagi untuk sholat shubuh berjamaah. Maksiat itu mungkin menyebabkan kita enggan dan malas untuk hadir dalam majlis taklim, hadir dalam pengajian pekanan atau menghadiri majlis ilmu lainnya. Allah memberatkan hati kita untuk bergerak menuju amalan surga, karena kita terbiasa dan merasa nyaman dengan amalan neraka”, lanjutku

“jika bathil kita artikan sebagai perbuatan sia-sia, seperti yang tercantum dalam surah Ali Imron, maka bisa jadi sudah banyak perbuatan bathil yang telah kita lakukan. Mata kita lebih sering nonton TV, main HP, daripada membaca Al Qur’an. Maka wajar, mata kita langsung memberontak ketika kita ingin fokus membaca Al Qur’an” lanjutku.

Malam itu, saya memberi pelajaran untuk diri saya sendiri yang masih banyak melakukan perbuatan sia-sia, masih banyak membuat pembenaran atas setiap sikap pribadi dan cenderung menyalahkan suasana dan lingkungan sekitar.

Kita bercermin untuk memperbaiki diri. Kita yang masih berat untuk membaca Al Qur’an 1 juz satu hari karena kita merasa terlalu sibuk dan tak cukup waktu untuknya, kita yang masih berat hadir dalam halaqoh pekanan, karena mungkin waktunya yang tidak cocok dengan diri kita, kita yang masih mencari alasan untuk menunda bahkan tidak melakukan amal sholih hanya karena kita sudah terlalu banyak menerima amanah.
Maka, malam itu saya beristighfar, beristighfar dan memohon ampun kepada Allah Swt atas segala kemalasan dan hilangnya tekad.

Kalibata, 23 Sept 2013